Kamis, 13 November 2014

CERPEN - JANJI 20 DESEMBER

“Pagi, Dina. Udah siap belum?” sapa seseorang di luar sana.
Dina sudah sangat kenal suara itu. Siapa lagi yang selalu melontarkan pertanyaan yang sama setiap paginya kalau bukan Reza, sahabatnya. Mereka sudah saling mengenal sejak mereka sama-sama berumur tiga tahun. Biasanya kalau Dina belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi ke sekolah saat Reza menunggu di depan rumahnya, dia yang akan datang ke rumahku untuk mengatakan “Pagi, Dina. Udah siap belum?”.
“Iya, Za. Sebentar lagi selesai,” jawab Dina sambil tertawa kecil.
“Jangan lama-lama, ntar kesiangan neng. Gue nunggu di depan.”
Terkadang Dina tidak bisa menahan tawa saat suara itu terdengar jelas di depan pintu kamarnya. Reza selalu ingin cepat tiba di sekolah, padahal jam belum menunjukkan pukul setengah tujuh.
Setelah memakan beberapa potong roti isi, meminum susu yang sudah disiapkan mamanya, dan pamit pergi ke sekolah, Dina menemui Reza yang masih sabar menunggu di teras rumah.
“Berangkat yuk, Za!” ucap Dina seraya mengejutkan Reza yang sedang asik memainkan gadgetnya.
“Ternyata selesai juga, gue pikir masih lama,” ujar Reza meledeknya.
“Rese lu, Za! Udah ah berangkat yuk, ntar telat,” jawab Dina.
Mereka berjalan di tengah kabut yang masih jelas di pandangan. Mereka memang selalu pergi sekolah dengan berjalan kaki. Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, selain itu berjalan kaki sambil menikmati udara pagi menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Mungkin ini alasan Reza selalu ingin sampai di sekolah sebelum pukul setengah tujuh.
Saat mereka sedang membeli makanan kecil di kantin, Reza membuka pembicaraan.
“Din, udah siap buat ujian semester nanti?” tanya Reza.
“Siap nggak siap sih, hehe. Elu sendiri?” cetusnya.
“Ya gitu deh, Din. Eh, ntar pulang sekolah barengan ya.”
“Yaelah, biasanya juga emang pulang bareng, kan rumah kita sebelahan. Nggak usah pake dibilangin kali,” ujar Dina sambil tertawa.
Reza hanya tersenyum. Dina merasa dia agak aneh hari ini. Tapi sudahlah, mungkin hanya perasaan saja. Setelah percakapan itu, mereka kembali ke kelas. Mereka berada di kelas yang sama dan duduk di meja yang sama pula. Jadi benar-benar tidak ada yang memisahkan mereka, paling hanya waktu tidur yang menghalangi.
Setelah bel tanda jam sekolah selesai, Reza masih duduk manis di tempat duduknya. Ini semakin membuat Dina yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya ini.
“Za, belum mau pulang nih?” tanya Dina.
“Belum, sebentar lagi deh,” dia menjawab dengan ringan.
“Tumben?”
“Nggak apa-apa. Oh iya, nanti ada yang mau gue omongin nih,” ujar Reza.
“Kenapa nggak sekarang aja, Kelamaan kalo nanti, sekarang aja ya,” Dina mulai penasaran.
Reza tidak memberikan tanggapan. Ia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dina memutar isi kepalanya, berpikir untuk mencoba menerka apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.
“Kita pulang yuk, Din,” ajak Reza.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Dina mengikuti langkah kaki Reza. Setelah cukup jauh mereka berjalan, Dina mulai menyadari kalau Reza akan membawanya ke suatu tempat. Jalan ini bukan jalan yang biasa dilalui mereka untuk pulang ke rumah.
Dina merasa seperti pernah mengenal tempat ini, jadi dia tidak menanyakannya pada Reza. Setelah beberapa saat membuka ingatan lama, Dina baru mengetahui kemana Reza akan membawanya hari ini.
Ternyata Reza akan membawanya ke sebuah taman. Taman ini bukan tempat yang asing lagi. Taman ini adalah tempat mereka bermain di sore hari ketika umur mereka masih sekitar lima atau enam tahun. Dina sedikit terharu, ternyata Reza masih ingat tempat ini. Semenjak mereka tumbuh menjadi remaja, mereka tidak pernah lagi menghabiskan waktu sore hari disini. Dina dan Reza lebih sering menghabiskan waktu di rumah.
Tiba-tiba Reza menghentikan langkahnya dan mengambil posisi di sebuah tempat duduk di dekat ayunan. Dulu mereka sering bermain di ayunan itu. Seketika itu juga rasa penasaran Dina semakin memuncak, rasa itu seakan sudah mencapai ubun-ubun.
“Za, elu masih inget aja tempat ini. Udah lama ya kita nggak kesini,” Dina memulai.
Reza (masih) hanya tersenyum. Dina semakin geram, tapi ia masih mencoba untuk sabar.
“Elu pasti penasaran dari tadi, Din. Iya kan!” Reza mencoba menggodaku. Dina hanya mengangguk.
“Gue mau nanya, kapan terakhir kali kita main kesini?”
“Udah lama banget, terakhir kalo nggak salah waktu kita masih kelas 4 SD deh,” kata Dina sambil mencoba mengingat-ingat dengan pasti.
“Itu berarti sekitar tujuh tahun yang lalu, udah lama banget kan? Coba elu liat, sekarang kita tumbuh menjadi remaja. Kita udah beda, Din,”
“Terus kenapa?” Dina semakin penasaran.
“Berarti kita mulai berkembang, ada perkembangan. Termasuk perasaan gue, Din. Perasaan gue mulai berkembang jadi lebih dari sekedar sayang sama sahabat,” ujar Reza.
“Perasaan elu ke siapa? Gue nggak ngerti,” kata Dina pura-pura tidak tahu.
“Ya perasaan gue ke elu lah, Dina sayang! Gue tuh pengen elu jadi sahabat sekaligus pacar gue,” Reza mencubit pipi Dina.
Dina terdiam mendengar perkataan yang baru saja keluar dari mulut Reza.
“Reza, sahabat gue, pengen gue jadi… Ah, gue nggak sanggup ngelanjutin kalimat itu” Dina berucap dalam batin.
“Gue sayang sama sama elu, Din. Sayang ini lebih dari sekedar sayang sama sahabat. Gue suka sama elu. Setiap detik yang kita habisin berdua bikin gue jadi sering memperhatikan elu, dan bikin perasaan itu pelan-pelan muncul. Dan sekarang gue udah nggak tahan nyembunyiin perasaan ini,” ujar Reza lancar.
Dina tertegun, ia tak menyangka kawan karibnya akan mengatakan hal itu. Dina masih membisu. Ia mencerna lagi kalimat yang baru saja diucapkan oleh Reza sekaligus meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi.
“Za, gue nggak tau ini beneran atau mimpi, tapi gue nggak yakin. Kita udah bersahabat dari kecil, Za. Gue nggak mau nanti persahabatan kita rusak gara-gara cinta, gue nggak mau itu terjadi. Gue juga sayang elu, tapi gue nggak mau persahabatan kita nanti jadi korban,” Dina akhirnya bicara.
Reza ikut tak bersuara. Ia hanya menatap Dina. Kemudian Dina melanjutkan jawabannya.
“Kita tetep sahabatan ya, Za. Tapi mulai hari ini kita lebih deket lagi, aku janji deh. Mau ya?” tanya Dina sambil mengangkat jari kelingkingnya.
“Oke, janji,” kata Reza sambil mengikat jari kelingkingnya ke jari kelingking Dina.
“Hari ini tanggal dua puluh kan?” tanya Reza. Dina menganggukan kepalanya.
“Janji dua puluh Desember,” ucap mereka serentak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar