Kamis, 13 November 2014

CERPEN - CAFE PERTIGAAN JALAN

“Keni, gua pulang dulu. Jangan lama-lama bacanya, cepet pulang oke?”
“Iya, sebentar lagi juga selesai. Lagi seru nih,” kata Keni yang tak berpaling dari bukunya.
“Gak ada alasan lain apa? Ya udah, deh. Aku duluan ya…”
“Iya,” ucap Keni seraya melambaikan tangannya ke arah Zelin.
Tersisalah Keni seorang diri di perpustakaan. Universitas tempatnya mengasah ilmu itu masih ramai akan ocehan para mahasiswa yang juga hendak pulang. Tapi Keni seolah tak peduli, Ia tetap duduk santai sembari membaca novel.
Cukup lama Keni berada dalam perpustakaan, hingga kini tempat itu benar-benar lengang. Ia pun menyudahi aktifitasnya.
“Kayaknya sebentar lagi mau turun hujan,” ucapnya seraya menatap langit yang mulai berawan.
Keni mulai melangkah meninggalkan perpustakaan. Ia berjalan melewati koridor seraya memainkan ponselnya. Sesekali terdengar Ia bersenandung lirih.
Rumahnya tidaklah jauh dari universitasnya sekarang. ia lebih sering berjalan kaki untuk menuju kampus dari pada mengayuh sepeda kesayangannya. Supaya ada alasan kalau-kalau Ia pulang telat hanya untuk mampir sebentar di Café.
Sore sepulang dari kuliah, Keni berjalan seperti biasa. Ia akan melewati taman kota yang penuh dengan bunga dan kupu-kupunya. Jika berjalan, Ia mempunyai kesempatan lebih untuk melihat cantiknya bunga-bunga di taman. Tak jarang pula angin saat sore berhembus kencang. Seolah ikut menerbangkan penat dan bebannya.
“Yah! Gerimis!” ucapnya seraya menengadahkan tangannya. Keni lalu mulai berjalan sedikit cepat, Ia menuju sebuah Café di pertigaan jalan yang tak cukup jauh dari taman.
Ia mulai memasuki Café tersebut. “Santai sebentar dulu,” gumamnya. Keni mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang terkesan simple itu. Sesaat kemudian Ia temukan sebuah kursi yang kosong dekat jendela. Ia menghampiri tempat itu.
Ia lalu memesan Hot Cappucino kesukannya pada salah seorang pelayan Café tersebut.
Keni kembali menyibukkan dirinya dengan ponsel. Ia seperti tidak tertarik pada hal lain lagi.
“Hai! Boleh gabung, ‘kan?” Sebuah suara menegurnya. Keni beralih dari layar ponselnya. Diam untuk sesaat, hingga Ia sadar akan dirinya sendiri.
“Boleh, kok. Duduk aja,” jawabnya gugup. Keni terpaku pada wajah lawan bicaranya. Sedikit terhalang oleh topi yang dikenakan pemuda di hadapannya ini.
“Kenapa liatnya serius banget?” Tanya sang pemuda yang merasa tidak enak karena terus diperhatikan.
“Em… itu, topi kamu,” ucapnya yang belum hilang dari rasa gugup. Bohong jika Keni menatap heran pada topinya, Ia menatap wajah pemuda yang duduk di hadapannya.
“Oh, iya. Maaf lupa dilepas.” Kata pemuda itu seraya mengulas senyum.
Keni terdiam lagi. Wajah pemuda itu kini terpampang jelas di hadapannya. Mata pemuda itu berbinar kala tersenyum beberapa saat lalu.
Keni kembali tersadar saat seorang pelayan mengantarkan pesanannya. Ia meletakkan ponselnya.
“Kamu nggak pesen?” Tanya Keni.
“Nggak, aku masih kenyang.” Pemuda itu mengulas senyum lagi.
“Nama gua Iqbal,” lanjut pemuda itu memperkenalkan diri.
“Nama gua Keni,” balas Keni seraya menunjukkan senyumnya.
“Pulang terakhir lagi ya?” Tanya Iqbal.
“Iya, kok kamu tau?”
“Gua tau lo suka baca novel di perpustakaan,” kata Iqbal.
Keni terkekeh mendengar pernyataan Iqbal, “iya, udah kebiasaan.”
Iqbal menggulung lengan kemejanya, “Gua anak sastra. Gua juga sering ke perpustakaan dan sering liat lo ada disana.”
Keni teringat suatu hal. Yang sedari tadi berbincang dengannya ternyata adalah seniornya di universitasnya saat ini. Sosok yang terkenal akan keramahan dan prestainya yang sangat bagus. Yang membuatnya semakin terkenal tentulah wajahnya yang amat berkarisma.
“Eh, diem dulu.” Perintah Iqbal membuyarkan pikiran Keni. Iqbal berdiri dari duduknya. Ia mengulurkan tangan kanannya mengarah pada kepala Keni. Ia mengambil selembar daun kecil yang telah menguning.
“Sorry, mungkin daun ini nyangkut di rambut lo.” Iqbal menunjukkan daun yang baru Ia ambil dari rambut Keni, membuangnya ke lantai dengan cuma-cuma. Keni lalu sedikit menundukkan kepalanya.
“kok, lo nunduk gitu? Sorry ya, kalo bikin kaget.” Iqbal kembali duduk.
“Oh, enggak kok… Kak,” ucap Keni dengan suaranya yang menahan gugup.
Raut wajah Iqbal berubah. Mengisyaratkan bahwa Ia tak mengerti suatu hal.
“Lo panggil gua, Kak?” Tanya Iqbal.
Keni tertawa, menutupi rasa gugupnya, “iya. Kakak tiga semester di atas ku. Itu artinya Kakak ini seniorku.”
Iqbal ikut tertawa, “kok lo bisa tau?”
“Iyalah, Kakak ini kan bintang di kampus. Cuma, aku telat taunya.”
“Oh, lo tau juga ya,” Iqbal menganggukkan kepalanya.
“Lagian, banyak mahasiswa di kampus kita yang ngomongin tentang Kakak,” tutur Keni seraya menyesap hot cappucinonya.
“Jadi lo dengerin mereka yang ngomongin tentang gua?” Sindir Iqbal.
“Enggak sering juga kok, Kak.”
“Enggak sengaja denger atau kebiasaan denger, nih?”
Keni menyunggingkan senyumnya dengan rasa malu. Ia lalu menjawab, “mungkin enggak sengaja denger, Kak.”
“kok ada mungkinnya?” Iqbal terus mendesaknya. Ia tersenyum simpul.
“Ya… enggak sengaja denger, Kak” Keni terus mengelak. Iqbal yang melihat tingkahnya hanya menahan tawa.
“Dari tadi lo panggil gua Kak, kan gua belum kasih izin,” singgung Iqbal. Lagi-lagi Ia mengumbar senyum.
Keni terdiam. Ia lagi-lagi dibuat malu akan pernyataan Iqbal. Rasa canggung mulai merambahi dirinya.
Iqbal tertawa melihat raut wajah Keni, “enggak apa-apa, kok. Santai aja. Lo boleh panggil gua Kakak.”
Iqbal mengulangi senyumnya. Hal kecil yang bisa membuat sebagian mahasiswa di universitasnya euforia. Keni hanya bisa tersenyum kikuk, jantungnya bekerja lebih cepat. Ia semakin merasa gugup.
Detik itu beralih menghampiri menit, membawanya berlalu dari menit pertama ke menit-menit berikutnya. Iqbal dan Keni terlihat lebih akrab. Sesekali terdengar tawa dari keduanya karena hal yang mereka bincangkan. Hingga hilang semua rasa canggung, malu dan sejenisnya. Menghabiskan waktu sejenak seraya menanti hujan reda. Sore itu, di Café pertigaan jalan, 18 Juni 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar