Kamis, 13 November 2014

CERPEN - DI PENGHUJUNG WAKTU

Kisah ini tercipta karena kerinduan yang memaksa hati untuk tetap diam dalam pengabaian. “akan selalu ada ruang tersendiri di hatiku untukmu” itulah ucap yang kurindu, ya! Aku percaya itu. Ruang tersendiri, mungkin itu adalah salah satu ruang di hatinya yang terisolasi dari ingatan waktu dan tak pernah terjamah dalam rasa rindunya. Mungkin disanalah namaku ditempatkan. Karena bagiku, akan selalu ada waktu untuk orang yang berarti, sesibuk apapun itu, pasti akan ada celah bagi ingatan dan rasa rindu untuk bertemu yang kemudian akan memaksa diri untuk menyapa bertemu, atau sekedar memberitahu cerita-cerita ringan lewat cara yang telah Tuhan mudahkan di akhir jaman yang serba canggih seperti sekarang ini.
Namun inilah kisah, ketika hati yang lemah selalu menempatkan harapannya pada tempat yang selalu berakhir dengan rasa kecewa, tak mampu beranjak atas nama ketulusan dan maaf yang selalu ada tanpa terucap. Itulah kebodohan.
Semua berawal dari kekosongan tempat untuk berbagi, dan ingatan indah dalam bingkai pepisahan berukirkan kasih sayang. Saat janji untuk bertemu semakin sulit menjadi nyata karena jarak yang terlampau jauh bagi hati remaja yang hidupnya masih bergantung dari kasih orangtua. Dan semua berpuncak manakala tragedi hancurnya mimpi yang telah terangkai dalam rencana masa depan yang indah, ketika semua hati terdekat menampakan keasliannya yang tak lebih dari bongkahan batu keras tanpa rasa peduli atau sekedar memahami. Ketika diri nekat beranjak dari semua kedekatan menuju jalan semu dalam sepi. Ketika itu ia hadir kembali dalam wujud yang berbeda.
Aku adalah tokoh utama dalam kisah ini. Rinduku selalu terjaga di sela kesakitanku. Aku tak pernah tahu kapan akhir hidupku, yang ku tahu aku selalu merindu. Aku menghormati setiap detik waktu kerinduanku, bahkan rindu ini akan kujaga dengan segenap hatiku meski dayaku telah luruh melebur dalam rasa sakit yang terkadang membuatku menyerah pada sang waktu. Dan inilah awal kalimat yang membuatku terjebak dalam kerinduan seumur hidupku,
“Apa cita-citamu?” tanya itu begitu sederhana dan bahkan mungkin disukai oleh setiap anak kecil. Namun tidak denganku, hatiku yang berduka karena kehilangan mimpi masih sangat sulit untuk kembali berdiri tegak memaknai arti sebuah cita-cita. Seolah dunia tak lagi memberiku tempat untuk menempatkan satu mimpi dalam nyata, asaku telah tiada,
“Cita-citaku pengen masuk Surga.” itulah jawabku kala itu yang langsung mendapatkan sanggahan sekaligus jawaban Tuhan akan doaku untuk mendapatkan kembali tempatku berbagi setelah akhir bernama perpisahan itu merenggut kebersamaanku dengan tempatku yang lama.
“Bodoh!” itulah satu kata sanggahannya. Entah kenapa hatiku tak sedikitpun merasa terhina, seolah Tuhan telah memberitahuku bahwa maksudnya bukanlah untuk menghinaku, melainkan ucapan selamat datang pada tempat yang baru. Aku pun tersenyum dalam syukur.
Hari-hariku pun perlahan menjadi terarah, jalan yang semu mulai terlihat tujuannya, dan aku yakin kala itu berada dalam jalan kebenaran. Karenanya aku lebih mengenal Tuhanku, karenanya aku lebih menghargai hal yang sederhana, karenanya aku menemukan rasa nyaman dalam ketenangan batin melangkah dengan tuntunan Tuhan, bahkan ia tinggalkan kebaikan yang kini selalu melekat di tubuhku untuk menutupi mahkotaku dalam balutan kain suci yang akan membuatku lebih utama di mata Tuhanku.
Meski waktu bersama terbatas tak lebih hanya dua bulan, namun kecanggihan di akhir jaman tak membuatku kehilangannya, di setiap hariku masih ada jejak kebaikannya. Hingga suatu ketika hujan menjadi awal petaka dalam keindahan ini, aku yang selalu mengagumi keindahan hujan di setiap syukurku telah tersakiti oleh pengagum hujan yang lain. Hujan adalah karya Tuhan, siapapun boleh mengaguminya, namun diriku merasa terhina manakala aku disejajarkan dengannya yang tak bisa menghargai tutur kata dan menyalahkan setiap ajaran kebaikan dalam caci makinya di hadapan para manusia. Aku telah dihinanya, namaku direndahkannya, dan aku pun memaafkannya meski tak pernah bisa melupakannya. Namun hatiku yang mulai kuat karenanya kembali dikecewakannya, saat ku tahu pembelaannya pada pengagum hujan yang menghinaku. Ia lakukan atas nama cinta katanya. Sempat ada air mataku kala itu, namun aku percaya ia yang baik akan selalu dalam lindungan Tuhan darinya yang bukan hamba Tuhan menurut ajaran yang kuyakini. Rasa benci tak sedetik pun hadir untuknya, maafku selalu ada untuknya. Meski tak bisa kupungkiri kedekatan itu tak lagi mendamaikanku seperti sebelum pengagum hujan itu hadir dalam hidupnya, aku pasrahkan itu dalam kehendak Tuhan. Biarlah waktu yang memberikan akhir pada mereka. Namun yang terjadi kini adalah akhir waktuku untuk merasakan kebaikannya di setiap langkah hidupku. Ia menghilang dalam kesibukan yang baru, entah apa aku tak tahu, yang ku tahu kini hari-hariku selalu merindu, di sisa waktu yang semakin tak menentu aku ingin bertemu, melepas rinduku sebelum kutemui rinduku yang akan menjadi abadi sebelum Tuhan memelukku dalam kasih suci-Nya.
“Hei sayang… Nanti lagi nulisnya, kita berangkat sekarang..” pinta itu menghentikan tulisanku, kututup laptopku, dan aku pun mengikuti apa katanya. Ialah Awan, cinta yang dihadirkah Tuhan, setelah dua kali aku kehilangan sosok sahabat, Cintanya memang tak mampu menghentikan kerinduanku, namun karenanya aku mampu bertahan menunggu waktu yang tak pasti. Awan adalah cintaku, ia juga dokterku, sekaligus kawan lamaku semasa aku sekolah, rasa sakitku telah mempertemukanku dengan belahan jiwaku, meskipun Awan tahu waktuku bisa saja berhenti tiba-tiba, namun kasih tulusnya telah meminangku dengan restu Allah, Tuhanku. Dan aku menerimanya.
Kurang dari setengah jam aku dan Awan telah sampai di sebuah rumah sakit, kami lalu memasuki sebuah ruangan, Awan memintaku untuk berbaring dan memeriksaku. Ia adalah kekuatanku, matanya yang tajam terbingkai indah dalam kacamata min dua setengah. Aku mengaguminya, ialah imamku kini, yang akan membawaku dalam jalan kebaikan yang diridhoi Tuhan.
“Tunggu bentar, aku buatkan resep..” ucap Awan setelah memeriksaku.
“Tambah parahkah?” tanyaku setiap kali Awan selesai memeriksaku.
“Semua akan baik-baik saja” hanya itulah jawaban yang selalu kuterima darinya, Aku tahu jawaban Awan itu tidaklah benar, namun aku hanya diam, aku menghargainya yang tak pernah mau melihat kekhawatiranku meski aku tak penah mengkhawatirkan itu selama aku bersamanya. Sesaat kemudian Awan menyerahkanku selembar resep obat, dan seperti biasa, kuterima satu kecupan tulus di keningku setiap kali Awan akan memulai pekerjaannya sebagai dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit itu. Aku pun lalu keluar dari ruangannya menuju sebuah apotek untuk menebus obat yang telah dituliskan Awan.
Seperti biasa, petugas apotek seolah telah terbiasa dengan kehadiranku, sehingga dia pun menyapaku dengan ramah.
“Mohon tunggu sebentar ya Ibu Awan…” ucap petugas apotek itu padaku. Aku lalu duduk di salah satu bangku yang tersedia di depan apotek. Sesaat kemudian entah apa yang terjadi pada diriku, seolah hati kecil ini memaksaku untuk menoleh ke belakang, dan betapa terkejutnya aku saat melihat seseorang yang duduk tepat di belakangku.
“Tika…” spontan kusebut nama itu. Sejenak kami saling berpandangan terkejut, sudah lebih dari tiga tahun aku kehilangan jejaknya, kulihat wajah sendunya kini terlihat begitu rapuh, ada perban yang membalut kepalanya.
“Ria…” Tika menyebut namaku, ada air mata yang menggenang tertahan di matanya. Rindu ini pun tak tertahankan lagi, aku pun tahu itu juga terjadi padanya ketika ia langsung memelukku erat dalam tetesan airmata kerinduan.
“Kau kenapa?” tanyaku khawatir akan luka di kepalanya.
“Dia dianiaya suaminya sendiri, Ade.” jawab seseorang yang duduk di samping Tika. Deg! Jantungku seolah berhenti berdetak ketika ku dengar kembali nama itu. Nama seorang yang pernah melukai hatiku dengan kata-kata hinanya, nama yang Tika samakan denganku hanya karena sama-sama mengagumi hujan, dan nama yang pernah Tika bela atas nama cinta yang semu. Seketika hatiku terasa sangat sakit. Aku tak menyangka Tika yang kukira sahabat terbaik yang tak kan mungkin menyakitiku telah tega melukaiku sampai sesakit ini. Nasehatku telah diabaikannya hanya demi manusia liar yang tak beradab. Aku sungguh kecewa.
“Ibu Awan…” petugas apotek telah memanggilku. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil obatku, dan melangah pergi melewati Tika tanpa sepatah kata pun yang kuucap, aku hanya ingin segera menjauh darinya. Tika hanya diam menahan airmata melihat kepergianku, sepertinya ia telah sadar betapa kecewanya aku karenanya. Namun tiba-tiba seseorang mengejarku, ia menghentikan langkahku.
“Tunggu sebentar Ria…” pinta seseorang yang ternyata ia adalah orang yang tadi ada di samping Tika.
“Aku Shella, temannya Tika,..” ucapnya padaku.
“Maaf aku harus segera pulang..” jawabku mencoba menghindar.
“Aku tahu kau sakit hati dan kecewa mendengar Tika akhirnya menikah dengan orang yang telah menghina dan merendahkanmu, tapi ketahuilah kini Tika jauh merasakan sakitnya…” ucap Shella yang kini berhasil menghentikanku. Ia lalu menjelaskan semua yang terjadi dengan Tika. Ade, pria yang membutakan mata hatinya kini telah menampakan keliarannya, rumah tangga Tika penuh dengan siksa suaminya yang ternyata seorang pemabuk. Dan kemarin Tika dipukul Ade dengan botol minuman keras hingga kepalanya terluka. Aku sungguh sangat terluka dengan keadaan sahabatku kini.
“Lalu kenapa Tika hanya diam saja? Kenapa dia tetap bertahan dengan orang liar seperti Ade?” tanyaku dengan penuh emosi tapi juga kekhawatiran dan rasa iba.
“Tika menganggap yang dialaminya kini sebagai karma karena dia telah mengabaikan nasehatmu dulu untuk menjauhi Ade, dia tahu kau sangat kecewa saat dia membela Ade ketika kau dihina, dia sadar telah menyakitimu dan merasa tak pantas lagi menjadi saabatmu…” jelas Shella padaku, airmataku tak mampu lagi ku tahan.
“Dan kemudian dia menjauhiku, lalu menghukum dirinya sendiri dengan terus bertahan dalam siksa manusia liar itu?” ucapku di antara airmata. Shella hanya mengangguk.
“Bodoh!” hanya itu kata yang mampu kuucap.
“Aku mengerti jika saat ini kau belum bisa menerimanya, tapi ketahuilah setiap detik waktunya Tika selalu merindukanmu. Aku harap kau bisa membantunya mengakhiri deritanya, ini alamat rumah Tika, datanglah jika hatimu sudah lebih tenang…” pinta Shella memberikan selembar kertas bertuliskan sebuah alamat. Shella lalu kembali ke apotek menemani Tika. Aku pun melanjutkan langkahku pulang ke rumah.
Inikah takdirmu Tuhan? Jika benar, maka kumohon hentikanlah deritanya, betapapun sakit yang kurasakan karenanya, tulusku tak pernah sedetik pun menghendaki adanya airmata dalam hidupnya. Rinduku telah berujung, namun yang ingin kulihat adalah bahagianya, dan bukan deritanya. Betapa kerasnya egoku menuntut untuk membencinya, hati kecilku tetap menolak, ketulusanku tak pernah memiliki kekuatan untuk membenci. Aku tahu kebaikannya pun tak ingin melihatku terluka manakala egonya telah terlanjur melukaiku dengan pilihannya. Jikalau waktu akan segera memberikan akhir, aku hanya ingin Tuhan mengijinkanku melihat bahagia di antara orang-orang yang aku sayangi. Karena itulah bahagiaku.
Tanpa sadar Awan telah ada di belakangku, tangannya merangkul pundakku dengan lembut menghentikan tulisanku, ada airmata yang menetes di pipiku, Awan yang menyadari itu segera menghapusnya dengan kedua tangannya. Aku lalu menceritakan tentang pertemuanku tadi dengan Tika dan semua yang terjadi dengannya.
“Sekarang ini dia sangat membutuhkanmu, datanglah dan bantulah dia…” saran Awan padaku. Aku mengangguk tanda setuju.
“Besok sebelum berangkat ke rumah sakit aku antarkan kamu ke rumahnya..” ucap Awan.
“Terimakasih, maaf aku hanya bisa terus menyusahkanmu saja..” jawabku pada Awan.
“Hussttt… Jangan pernah ada kata terimakasih dan maaf dalam hubungan yang tulus, karena kedua kata itu pasti akan selalu ada tanpa harus terucap.” ucap Awan dengan penuh ketulusan, aku hanya tersenyum semakin mengagumi sosoknya, dalam hati aku bersyukur, betapa baiknya Tuhan telah menghadirkan Awan untukku, sosok pendamping hidup yang begitu sempurna di mataku.
Keesokan harinya, aku dan Awan langsung menuju rumah Tika, sesampainya di depan rumahnya, terlihat Shella yang berlari menuju rumah Tika.
“Shella…” panggilku, Shella lalu menoleh ke arahku, ia lalu berlari menghampiriku.
“Syukurlah kau datang… Ayo masuk sepertinya Ade menyiksa Tika lagi…” ucap Shella panik.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku bingung.
“Rumahku di sebelah, aku denger teriakan Tika kesakitan tadi..,” tanpa pikir panjang aku dan Awan langsung mengikuti Shella memasuki rumah Tika. Sesampainya di dalam betapa terkejutnya aku melihat Ade sedang mencekik leher Tika, tubuh Tika yang lemah tak berdaya dengan siksaan Ade.
“Hentikan! Atau aku telpon polisi!” teriakku, aku lalu mencoba menghubungi polisi, namun dengan segera Ade merampas Hpku dan membantingnya ke lantai. Ade lalu mencoba memukulku namun dengan segera Awan menghalangi. Dengan tampang beringasnya Ade lalu kabur meninggalkan rumah. Tika masih nampak terkulai lemah, aku langsung menghampirinya.
“Tika…!!” aku panik.
“Kumohon jangan telpon polisi…, kasihan Ade…” itulah permintaan Tika sebelum ia pingsan. Sungguh aku tak mengerti kenapa Tika terus melindungi Ade yang bahkan telah menyiksanya dengan begitu kejam. Dengan segera Awan memeriksa keadaan Tika.
“Syukurlah, keadaannya tidak terlalu parah, aku buatkan resep obatnya…” jelas Awan. Aku lega mendengarnya.
“Biar aku yang tebus obatnya di apotik..” pinta Shella. Setelah itu Awan pun meninggalkanku di rumah Tika karena ia harus segera ke rumah sakit.
Selama satu jam aku terus berada di samping Tika yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Sesaat kemudian ia pun tersadar dari pingsan.
“Ria.. Kumohon jangan laporkan Ade ke polisi…” pinta itu kembali terucap dari mulut Tika. Dan itu sangat menyakitiku.
“Kenapa? Kenapa kau begitu bodoh?!” tanyaku tak mengerti.
“Aku memang bodoh, kau pantas membenciku, maafkan aku, tapi aku mencintainya..” ucap Tika berusaha membela Ade.
“Apa yang kau cinta darinya?!”
“Aku tak tahu…” jawabnya singkat. Tiba-tiba Awan datang kembali, ia memberikan obat untukku.
“Kenapa kamu begitu ceroboh meninggalkan benda sepenting ini?!” Awan tampak memarahiku, namun dengan nada penuh rasa khawatir. Aku tersenyum padanya.
“Maaf, tapi kamu juga melupakan sesuatu..” ucapku padanya. Awan terlihat berpikir, sesaat kemudian ia mengingat sesuatu. Awan lalu memberikan satu kecupan kasih di keningku.
“I’m so sorry dear.. Love you..” ucap Awan penuh ketulusan.
“Love you too Honey..” jawabku. Awan lalu pergi kembali ke rumah sakit. Sementara Tika hanya memandangi kami dalam senyum sendunya.
“Kau beruntung..” ucap Tika.
“Ya, aku memang beruntung, dia adalah imam yang terbaik untukku, yang dapat mengajariku, membimbingku ke jalan Tuhan, dan sangat layak untuk ku pertahankan seumur hidupku.” jawabku berharap Tika dapat menyadari kesalahannya mempertahankan Ade.
“Iya aku tahu, aku memang bodoh.” hanya itu jawab Tika. Aku pun tak ingin terlalu memojokkannya. Tubuhnya masih lemah. Biar bagaimanapun aku tak ingin ia sakit.
Satu minggu sejak kejadian itu aku selalu menghubungi Tika untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Hingga suatu ketika aku mendengar kabar dari Shella bahwa Ade ditangkap polisi karena merampok sebuah warnet. Dalam hati aku bersyukur karena sementara waktu Tika pasti akan terhindar dari kekejaman Ade. Aku terlalu sibuk mengkhawatirkan keadaan Tika hingga aku melupakan kesehatanku sendiri. Hari itu tiba-tiba saja perutku terasa sangat sakit. Awan segera membawaku ke rumah sakit, tak sengaja aku mendengar rekan dokter Awan yang turut memeriksaku mengatakan bahwa kanker di perutku sudah memasuki stadium akhir. Awan terlihat sangat sedih dengan keadaanku kini, ia terus menemaniku di rumah sakit dan tak sedetik pun meninggalkanku.
“Maafkan aku…” ucap Awan yang menyalahkan dirinya atas keadaanku.
“Sehebat apapun seorang dokter tak akan pernah bisa melawan kehendak Tuhan.., jadi jangan pernah menyalahkan dirimu, kamu tetaplah suami dan dokter terhebat yang pernah kumiliki..” jawabku berusaha menghibur hati Awan. Ia hanya tersenyum.
Sudah empat hari aku dirawat di rumah sakit, hari itu Tika datang menjengukku, kali ini ia membawakan kabar baik untukku, Tika telah menyadari kesalahannya dan memutuskan untuk menggugat cerai Ade.
“Syukurlah, sekarang aku bisa mati dengan tenang..” ucapku pada Tika.
“Hust! Please tolong jangan bicara kematian! Hidupmu masih panjang. Ijinkan aku menebus kesalahanku dengan mengganti seluruh waktuku yang hilang bersamamu..” pinta Tika. Aku hanya tersenyum.
“Tebuslah dengan membuat dirimu bahagia, curahkan ketulusanmu di tempat yang tepat..” jawabku pada Tika.
“Aku akan bahagia jika sahabatku bisa sembuh.” ucap Tika.
“Aku pasti akan sembuh dan terbebas dari segala rasa sakit jika aku bisa melihat tempat-tempatku mencurahkan ketulusanku bisa bersatu, akan aku lihat dari atas sana” ucapku. Tika terlihat bingung mengartikan kalimatku. Tapi aku yakin suatu saat nanti Tika akan mengerti.
Dan inilah akhir dari kisah ini, ketika semua orang yang aku sayangi dapat tersenyum bahagia, ketika itu pulalah aku bahagia. Kini aku merasa sudah tak ada lagi yang kucari di dunia ini, semua yang ku mau telah Tuhan wujudkan, hanya ada satu harapanku kini sebelum aku melepas keabadian rinduku pada Tuhan, aku ingin kelak dari atas sana dapat melihat kedua tempatku mencurahkan ketulusanku dapat bersatu dalam satu rasa yang sama. Agar airmata yang kuyakini pasti ada saat kepergianku nanti dapat segera berganti dengan senyum kebahagiaan. Biar bagaimanapun aku penasaran bagaimana cara mereka akan mengenangku kelak, namun aku berharap akan selalu menjadi kenangan indah mereka yang selalu akan menghadirkan senyuman ketika mereka mengenangku nanti.
Kini peluklah aku Tuhan….
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar