Kamis, 13 November 2014

CERPEN - CEMBURU TANDA (TERLALU) CINTA ?

Keadaan ruangan itu gelap dan remang-remang, saat sepasang muda-mudi mencari suatu barang. Ialah Fay, lelaki bertubuh atletis itu, masuk menemani Yuna kekasihnya, gadis penakut yang bawel. Mereka berdua berniat masuk mencari sesuatu. Kaca mata renang, ya, benda itu yang mereka cari. Dengan sinar senter hape yang mereka pakai, mereka bersama-sama mencari kacamata tersebut di antara kelamnya ruangan, dus-dus kosong dan sarang laba-laba serta debu.
“memangnya dimana letak kotaknya, yun?” Tanya fay
“kata bibi, di sudut gudang, berlawanan arah sama kaca ventilasi”
“barangnya ada kan?”
“ada kok, ituk an punya…” ucapannya terputus
“punya siapa?”
Yuna tak menjawab, tapi ia berhasil menemukan kotak yang mereka cari. Fay pun tak memperdulikan pertanya tadi, ia terlihat bahagia saat mendapatkan kacamata renang yang yuna punya. Lantas tak butuh waktu lama, kacamata itu sudah terpasang menutupi sepasang bola mata Fay.
Sedangkan yuna, masih mengorek-ngorek benda di dalam kotak itu. Ia dapatkan sebuah album foto yang dihiasi debu. Album yang sebesar buku catatan. Lebih tebal dan berisikan banyak lembar foto. Fay kebingungan saat ia melihat benda yang yuna pegang. Yuna sekejap membalik-balikan lembar demi lembar kertas foto ukuran 4r itu dengan sinar senter seadanya. Fay penasaran ia mendekatinya, mencoba mengintip sekilas album foto Yuna.
“eits… rahasia cewek tau!” ujarnya pada Fay, album pun ditutup. “Yuk keluar” ucap Yuna mengakhiri. Alhasil niatan Fay melihat foto yang membuat ia penasaran, menjadi sia-sia.
Fay berkemas, hari ini ia akan berpacu di dalam air kolam. Ransel berisi perlengkapan renang, ia gantung di kedua pundaknya. Lalu Fay berjalan masuk menuju ruang tamu, di mana yuna sedang tenggelam dengan kenangan yang terlangkul dalam album kepunyaannya. Fay menjadi semakin penasaran akan album foto Yuna.
“yuna, yuk kita pergi” ucap Fay pada Yuna. Tapi kenangannya dalam foto membuat telinganya non aktif untuk sementara. Fay terlihat jengkel, gusar, tangannya dikepal seakan-akan ingin meninju.
‘kecoaaa…” Teriak Fay, Yuna sontak terperanjat
“aaa… kec… kec… kecoa, mana-mana” pekik suara Yuna, yang kini berdiri di kursi, seolah-olah menyelamatkan diri dari kapal yang hendak karam.
“dah keluar, mau beli bakso kali, hehe” ucap Fay, melantur.
“kamu nih ada-ada aja, kalau aku jantungan gimana?” sanggah Yuna
“lagian serius amat ngelihat fotonya” jawab Fay
“week… biarin” ucap Yuna mencibiri Fay, sambil menjulurkan lidah
“ayo kita pergi” ucap Fay mengajak kembali Yuna pergi
“maaf beibh, mama nyuruh aku di rumah, hari ini kan baru kualifikasi. Besok aku pasti datang”
“yah kok begitu”
Yuna tidak memberi jawaban, ia menghampiri Fay yang sedang tegak di depan pintu. Yuna menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir pacarnya. Sembari mengangkat lengan kanan Fay. Nampak arloji yang sporty, bertuliskan 10:00, sebagai isyarat agar Fay cepat pergi. Fay setengah kaget, tanpa buang waktu lagi, Fay pergi saat bibirnya terbebas dari telunjuk kanan Yuna.
Fay datang nyaris terlamabat. Membuat pelatihnya meradang. Fay yang keras kepala, begitu saja lari menjauh dari ceramah sang pelatih. Fay berlari sangat kencang, karena namanya sudah diperdengarkan oleh panitia. Lantas ia masuk ruang ganti dengan terburu-buru, fay langsung menanggalkan pakaiannya dengan menyisakan sebuah celana pendek ketat yang tertempel di bagian bokongnya. Dilanjutkan dengan memakai penutup kepala yang elastis. Lalu sambil berlari ia memasang kacamata renangnya.
‘bruk’ tubuh fay tersungkur, seseorang tanpa sengaja menghalangi laju kencangnya. Lelaki itu segera membantu fay. Orang itu menjulurkan lengannya dan hendak membantu Fay kembali berdiri. Namun reaksi penolakan bercampur amarah meradang di lubuk hatinya. Fay pun bangkit sendiri dan berlari lagi.
“kacamatanya…” ucap lelaki yang sebentar ini bertabrakan dengan Fay, dari sorot matanya, orang itu merasa mengenali kacamata yang Fay pakai. Mendengar orang itu berteriak Fay lantas berputar membalikan badan. Kembali menghampiri pemuda itu dengan muka ketus, tanpa berbicar sepatah kata pun hingga ia naik ke podium start
Ruang ganti perenang. Kursi besi ringan yang memanjang dan locker yang berjajar saling bersebrangan menjadi tempat pesakitan. Fay lemas dan hanya melamuni saat ia terjun ke air. Berbasah-basahan memperagakan skill renang gaya bebasnya, saat tangan dan kaki berganti-gantian mendorong tubuhnya melaju di permukaan air. Namun di tengah lintasan renang. Kakinya tiba-tiba kram dan pintu kekalahan pun tergambar jelas di ingatannya.
Dengan muka membara, pelatih Fay datang. Buku yang digenggamnya kini menyerupai alat pukul. Wajah Fay terlihat gelisah. Matanya tak tentram memandang ekspresi muka pelatihnya.
“kenapa? Kalah ya?” ucap pelatih. “ya jelas, wong kamu gak pemanasan” sindir sang pelatih
Fay masih tertunduk lesu dengan rasa penyesalan.
“ok! Cuma ada satu kategori lagi. Gaya punggung, dua hari lagi” ujar pelatih sambil mengangkat dua jemarinya
“tapi pak…” ucapan fay terputus
“bapak tau, kamu belum menguasainya kan” ucap pelatih, pemuda yang seakan sedang diintrogasi itu hanya mengangguk tak bersuara.
“Cuma itu yang bisa kau perjuangkan nak, bila ingin lanjut ke tingkat nasional’ tambahnya sembari menepuk pundak muridnya dan berlalu meninggalkan Fay. Fay kembali termenung, sepuluh jarinya kini bertumpuk di wajahnya.
Embun pagi terasa menyapa kulit tangan yuna, yang sedang merobek dedaunan tepat di halaman depan kelas yuna. Dinding bercorak putih abu-abu menjadi background saat tubuh Fay menyandar di bangku santai kepunyaan sekolah. Pemuda itu tambah terpuruk, saat ia melihat bahagia di wajah yuna. Ada apa dengan yuna? Pekik fay dalam hati. Aku disini sedang bersedih. Tapi kenapa dia bisa tersenyum? Bicara batin fay
Yuna mendekati fay, tampak pacarnya sedang merasa susah, jamarinya kini mengelus-elus rambut pangeran cintanya. Fay tak menanggapi tatapan yuna kepadanya, ia lantas berganti memandang langit-langit. Di ujung sadarnya, Fay teringat kekalahanya kemarin. Namun
Yuna tak tau kah kalau kekasihnya kalah.
“beibh, kok mukanya ketus gitu?” Tanya yuna
“kamu kok senyum-senyum aja dari tadi” fay balik bertanya
“Senyum? mana ada? Kamu kenapa sih? Belum jawab pertanyaan aku juga”
Fay tak menjawab pertanyaan Yuna. Kesal dan bingung kini hinggap di benak yuna. Namun Nina, teman sebangkunya datang. Dengan cepat ia menggengam tangan yuna. Ia berdalih minta ditemani ke wc. Gadis cantik itu tak kuasa menolak ajakan nina. Fay bertambah kesal.
Tas tali samping berwarna pink kepunyaan yuna, saat ini tersandar di samping tubuh Fay. Badan lemasnya terangkat, saat tas pacarnya bergetar, pertanda ada hp Yuna di dalamnya. Matanya terbelalak saat ia baca beberapa pesan dari seseorang bernama ‘Marta’. Inboxnya pun Fay jelajahi, dilihatnya kini satu per satu pesan yang masuk sedari kemarin, penuh dengan kata-kata yang mencurigakan. Ternyata orang ini yang mengalihkan dunia yuna, bentak Fay dalam hati.
Fay emosi, matanya memerah seperti kerasukan setan. Namun ia mencoba bersabar, ia letakan kembali hp yuna, kekasihnya. Tapi ternyata mata fay tertuju pada album. Ya, album foto yuna. Terlihat usang, persis seperti yang ada dalam gudang kemarin. Menjadi tanda tanya besar dalam hati Fay, buat apa album itu yuna bawa?
Rasa cemburu Fay kini berapi-api, saat indra penglihatannya, memandang beberapa foto pacarnya dengan orang lain, mereka tampak mesra, begitupun halaman-halaman selanjutnya yang dibuka. Ia berhenti sejenak, ketika melihat seseorang itu mengenakan baju renang. Akan tetapi ia merasa mengenali pria dalam foto itu. Tiba-tiba badai di ingatannya hadir bertubi-tubi, mencoba mengingat kembali, kapan ia mengenal pria misterius di photo Yuna serta menggambari apa saja yang telah ia lewatkan kemarin. Dan ingatan itu jatuh pada saat fay bertubrukan dengan seorang pria sepantarannya.
Fay muak. Sikapnya beringas, dengan kesal ia lempari album usang itu. Yuna yang bebas dari tawanan Nina, tak sengaja melihat bagaimana album usang itu melayang berputar bagai boomerang lalu tercampak begitu saja. ia melihat Fay, sang pujaan hati melakuknnya.
“siapa marta?” ucap Fay berang
“bukan siapa-siapa beibh” ucap yuna menenangkan
“jelas siapa-siapa” nada bicara fay mulai meninggi “karena sms-nya selalu kamu balas” ucap fay berapi-api
“aku kalah!” ucapnya agak merintih “satu titik pun pesan tak datang ke hp ku” suaranya mulai serak. Ia berdiri dari duduknya. Mendekatkan lapisan bibirnya pada telinga kiri Yuna, sambil berkata “maaf!. aku membuang album berisi pria brengsek itu” ucap Fay sambil menunjuk kekesalan ke arah album usang itu, yang telah mendarat di tempat sampah.
‘plak’ satu tamparan mendarat di pipi kanan Fay. Fay menatap kesal Yuna. Urat-urat lehernya terukir jelas seperti akar. “ok! Fine…” ucap fay. Isak tangis pun pecah, satu per satu air di kelopak mata yuna menetes. Saat itulah kaki fay menghatarkan ia menjauh meninggalkan yuna.
Esoknya, tiba saatnya Fay untuk berlomba. Hari ini perhelatan terakhir lomba renang. Fay tak ingin impiannya gagal, ia kini melakukan pemanasan di tepi kolam. Namun masalah sekarang berkumpul menghujat setiap denyut-denyut urat sarafnya. Membebani alam sadar fay. Wajahnya tegang, bagaimana tidak? Ia akan berlomba pada kategori yang tidak ia kuasai.
Tak sengaja ia melirik seseorang yang tersenyum. Lalu meneriaki ‘ayo fay semangat’. Orang itu adalah Yuna. Namun wajah kesal itu masih kental di lingkaran mukanya. Ia masih kesal dengan gadis yang ia pacari, meski sekarang gadis itu sedang duduk di tribun penonton.
Dari balik ruang ganti, marta datang, ketika fay sedang berlari mengitari kolam renang. Fay yang telah mengenali jelas wajah Marta, berjalan mendekati lelaki yang sedang bercengkrama dengan beberapa perenang lainnya. Namun suara langkahnya diketahui marta.
“oh hay bro” ucap marta. Tiba-tiba Fay meradang. ‘bugggk’ satu pukulan tepat di pelipis kiri, saat sapuan tinju Fay mengenainya, tak khayal darah mulai bercucuran di pelipis pria itu. serta membuat pria tak bersalah itu terdorong hingga terjatuh. Tak sampai di situ, kini Fay menggengam kerah baju marta, mengajaknya setengah berdiri. Lalu 2-3 pukulan mentah menghantam ujung bibir beserta hidung mancung pria itu. Sedetik kemudian, situasi panas itu menjadi kondusif. Saat para perenang dan staf lainnya datang melerai.
Yuna berlari menuju ke bawah tribun. Setelah ia menyaksikn secara langsung sang pacar menganiaya mantannya. Kala itu, yuna menjadi serba salah. Gara-gara dia Marta dan Fay berkelahi. Gara-gara kecemburuan Fay malapetaka pun terjadi.
Ruang ganti kini menjadi ruang peskitan mereka bertiga. Mereka saling acuh kecuali Yuna. Yuna memandang mereka prihatin
“Fay, sekarang kamu udah tau semua. Marta ini mantan aku” ucap yuna. Tapi Fay seolah tak mendengarnya. Ia hanya menetap kosong menghadap ubin lantai “aku tau, aku salah tapi bukan kayak gini caranya Fay” ucap yuna agak meninggi
“terus bagaimana caranya?” ucap Fay singkat
“caci aku, maki aku. Aku dapat menerimanya” pinta yuna
“kalau kayak gitu, hati gue gak lega” jawab Fay tanpa melirik yuna
“dasar psikopat lu” sanggah marta, Fay menggidik
“diam lu, perebut pacar orang” ucapnya sambil menunjuk Marta
“eh budek, gue mantannya lu gak denger” ucapnya sambil memegang telinga “yuna kangen sama gue, memamg salah”
“diam… diam..” Berang Yuna sambil menyeka air mata ”disini aku yang salah. Ini semua tak kan terjadi kalau aku terus terang ke kamu fay”
“enggak yun, kamu kamu gak sal…”
“marta tolong ngertiin aku” ucap yuna memotong pembicaraan marta.
“Fay aku minta maaf” yuna berusaha menenamgkan fay hingga air matanya jatuh berlinang. Namun Fay sama sekali tak memberi jawaban, bahkan melihat pacarnya saja tidak “beri aku kesempatan satu kali lagi untuk dapat mempertahankan cinta kita”
Terlihat fay agak melunak. Pria itu pun bangkit dari duduknya. Ia menatap yuna bagaikan menatap bola salju yang membawa ketenangan. Yuna menatap pacarnya. Ia yakini segala perkataan, bujukannya tadi akan merasuki segmen pada fikiran Fay. Ia merasa dapat menenangkan banteng yang tengah mengamuk di depan matanya. Namun pandangan Fay tiba-tiba seakan berapi-api. Dan mengangap kata-kata Yuna hanya sepintas lalu di telinganya.
Fay kini menjinjing tasnya, ia berdiri dan bersiap melangkah menjauhi kekasihnya. Dengan sigap yuna menggengam lengannya.
“kamu mau kemana? Kita belum selesai ngomong” rintih yuna.
Fay tak menjawab. Ia melepaskan rangkulan yuna dan pergi meninggalkan yuna. Marta mencoba mengejar Fay. Ia tak terima mantanya di perlakukan seperti itu. Namu usahanya saia-sia, Fay dengan emosi mendorong pundak Marta sampai ia terjerembab membentur dinding lorong ruang ganti.
Yuna hanya mampu menahan tetes demi tetes air matanya, tapi tangisnya pecah tidak terbendung, hingga ia tersandar di ujung kerangka locker room. Dalam hati kecilnya ia berharap Fay mau memaafkannya. Dan mengukir jalinan cintanya seperti sedia kala.
Fay kini sudah di luar arena kolam renang. Sambil berlalu, ia menyaksikan para perenang lain berlomba. Sang pelatih bahkan membuang muka untuknya. Fay tau tindakannya sangat tidak professional untuk menjadikanya seorang atlit. Melihat pelatihnya bersikap begitu, membuat matanya berkaca-kaca. Tetapi fay tidak bisa merubah keadaan, ia tetap tak bisa berpacu di atas air. Secara sah ia telah di diskualifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar