Kamis, 13 November 2014

CERPEN - CINCIN TAHUN BARU

Aku masih saja duduk termangu disini, bersama deburan ombak, serta langit dengan semburat warna oranyenya. Aku seperti merasakan anugerah yang Maha Kuasa di tempat ini. Ditambah lagi aku baru saja dinyatakan lulus dari SMA dengan nilai tertinggi seprovinsi Jawa Barat, benar-benar hal yang sempurna. Ya, sempurna bagi orang yang melihatnya dari luar, tapi tidak dari sudut pandangku. Mungkin aku berhasil di bidang akademik, tapi tidak dengan urusan hati.
Kita bicara soal Rangga, anak teman dekat papa yang tinggal bersama kami. Alasan papa mengajaknya tinggal bersama kami adalah karena kedua orangtuanya sudah meninggal 3 tahun yang lalu akibat kecelakaan pada malam tahun baru. Ia terbilang beruntung karena masih dapat selamat dari kecelakaan maut yang sangat mengenaskan itu.
Kehadirannya di rumah ini menjadi teman bagi Kaspian, satu-satunya kakak laki-laki yang aku punya, sekaligus jadi teman diskusi untuk tugas sekolah kami. Kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama, dengan tingkatan kelas yang sama, dan ruang kelas yang sama, tapi tidak untuk tempat duduknya.
“Lipat kesini, terus yang ini, terus tarik. Selesai! Tinggal dilepas ke pantai sebentar lagi,” aku bersorak karena baru saja menyelesaikan perahu kertasku.
Aku memang membawa kertas dan sebuah pulpen saat hendak kesini. Dari dulu aku selalu menuangkan semua keluh kesahku lewat tulisan, kemudian menjadikan kertas yang aku tulis menjadi sebuah perahu kertas agar tidak ketahuan, lalu melepasnya ke tepi pantai.
“Bianca,” sebuah suara mengejutkanku.
“Rangga, ngagetin aja. Aku kira tadi siapa, tiba-tiba manggil.”
“Maaf deh, Bi. Eh, itu apa?” tanya Rangga.
“Apa, Ga? Nggak ada apa-apa kok,” aku menyembunyikan perahu kertas yang kupegang. Aku yakin ia melihat ini tadi.
Rangga mencoba mencari tanganku, dan merebut perahunya. Dan ia mendapatkannya.
“Cuma perahu kertas, aku kira apaan. Kamu, yang beginian aja pake dirahasia’in,” celetuk Rangga. Kemudian ia mengembalikannya.
“Ini bukan perahu kertas biasa, Ga. Perahu kertas ini isinya semua keluh kesah aku,” timpalku sambil menggenggam perahu kertas dengan erat.
“Jadi kamu curhat di kertas itu? Setiap hari?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Pantes aja kamu sering duduk disini, sambil bawa kertas sama pulpen. Aku kira kamu mau nulis cerpen, kamu kan hobi nulis begituan,” ujar Rangga.
“Dan melepasnya ke pantai. Mau coba?” aku menyodorkan sehelai kertas dan pulpen.
Dengan cepat Rangga mengambilnya. Ia menuliskan sesuatu dan melipat benda tipis itu dengan cepat. “Oh Tuhan, apa yang ia tulis disana?” gumamku dalam hati.
Kami berdua berjalan menuju pantai. Kami melepas perahu-perahu kertas kami disana. Aku harap perahu kertas ini tidak hanya melegakan perasaan kami, tapi juga mengabulkan harapan kami.
“Bianca, masuk dulu yuk, kita nonton. Acaranya kan mulai sekitar tiga jam lagi,” kata Rangga.
“Nyusul deh,” jawabku.
Rangga berjalan ke arah rumah.
Jam tanganku menunjukkan pukul sembilan. Tiga jam menjelang tahun baru 2014. Aku memilih untuk masuk ke kamarku, meskipun saat itu Rangga mengajakku menonton film horor. Sebenarnya aku berniat ingin melanjutkan cerita pendek karanganku yang belum selesai, namun sayang aku tertidur saat itu.
Aku terbangun, tapi mata ini terasa belum akan terbuka. Ada tangan yang dengan hangat mengelus kepalaku. Kudengar suara sayup rangga. Kubiarkan tangan itu di kepalaku, sambil mendengar suaranya. Tiba-tiba Rangga mengucapkan sesuatu yang rasanya seperti akan membuatku tersedak.
“Aku sayang kamu sejak lama, Bianca,” ucapnya seraya membelai pipiku.
Kemudian ia membangunkanku dari tidur yang rasanya nyenyak tapi mengejutkan di akhir ini. Aku berpura-pura baru terjaga dari tidur. Seulas senyum manis di bibir tipis Rangga menyambutku. Aku langsung melesat dari tempat tidur dan merapikan penampilanku yang sedikit berantakan.
“Ayo keluar, udah mulai rame tuh,” Rangga berucap. Ia mengulurkan tangannya.
”Oh tidak, genggaman ini membuatku seperti akan meleleh, bagai es batu di atas bara api,” gumamku begitu menyambut uluran tangannya.
Begitu sampai di luar, kami bergabung dengan yang lainnya. Kami duduk di dekat Kaspian, tapi Rangga memintaku duduk di sebelahnya, bahkan ia belum melepas genggaman ini. Begitu hampir tengah malam, Rangga menarikku ke tempat yang agak sepi.
“Bi, ini buat kamu,” ujarnya setengah berdiri sambil megulurkan sebuah cincin.
“Cincinnya cantik, tapi ini buat apa?” tanyaku setelah cukup lama menganga karena tertegun.
“Iya, cincin ini cantik, secantik kamu. Ini buat nyatain cinta aku ke kamu, Bianca,” ucap Rangga lancar. Ia memasangkan cincin tadi ke jari manisku.
“Aku sayang sama kamu, Bianca. Aku mau kamu ada sama aku selamanya,”
Tanpa mengucap sepatah kata, aku langsung memeluk tubuh Rangga. Apa yang aku tulis di perahu kertas tadi ternyata langsung dijawab oleh Tuhan. Aku benar-benar merasa beruntung dan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar