Kamis, 13 November 2014

CERPEN - AYUNAN MERAH

Pagi ini terlihat sangat cerah. Angin bertiup dengan lembut menembus kulitku dan juga membuat rambutku menari-nari. Burung-burung berkicauan di jendela rumahku. Ku buka jendela, dan ku lihat matahari belum muncul juga. Memang, pagi itu terlihat sangat sejuk dan juga membuat nyaman tetapi tidak dengan hatiku.
Tetap sama, mendung.
Akhir-akhir ini, aku sering termenung dan memikirkan tentang hal-hal yang mungkin tak akan pernah terjadi. Ya, tak akan pernah terjadi. Bertahun sudah aku menunggumu di kota kecil ini. Aku cukup tahu itu menyakitkan bagiku dan juga perasaanku. Namun apa yang harus aku lakukan selain menunggu dia kembali?
“Selamat pagi” ucapku dalam hati, dengan harapan dia mendengar sapaanku untuk pagi ini.
Ku arahkan pandangan mataku ke taman bunga yang berada tepat di bawah kamarku. Teringat dulu aku dan dia sering bermain di ayunan kecil yang hingga saat ini belum hilang dari tempatnya. Aku sudah bilang kepada ayah untuk tidak memindahkannya atau bahkan menjualnya. Terdapat berbagai bunga yang sedang menyapaku di sebelah ayunan kecil itu. Bunganya memang cukup banyak karena dulunya merupakan sebuah kolam kecil yang sering aku gunakan untuk berenang bersamanya.
“Aku rindu…”
Tiba-tiba kata itu terlontar dari mulutku. Jujur saja, aku benar-benar rindu akan hal-hal yang telah aku lalui bersamanya. Aku mencoba mengingat kembali hal-hal yang sudah aku lalui dengan dirinya di ayunan kecil itu…
“Kamu nanti kalo sudah besar mau jadi apa, Din?”
“Mau jadi apa ya, aku mau jadi dokter atau jadi pramugari. Kamu Dan?”
“Aku mau jadi pilot atau jadi astronot.”
“Wah, hebat dong. Semoga tercapai ya Dan.”
“Iya, terimakasih Adin. Kalo sudah tercapai, aku mau kamu jadi ibu untuk anak-anak aku nantinya”
“Kenapa?”
“Rahasia. Kamu harus janji ya sama aku. Kamu harus jadi ibu buat anak-anak aku nantinya”
“Iya. Aku janji”
Aku tertawa kecil saat teringat dengan janji yang sangat konyol itu. Apakah dia masih mengingat janji itu? Apakah dia serius dengan janji yang dia ucapkan 11 tahun lalu disana? Apakah dia merindukanku? Apakah dia mengingatku? Pertanyaan-pertanyaan terus muncul di kepalaku. Untuk kesekian kalinya, ayunan kecil dengan cat berwarna merah itu mengingatkan aku tentang dia yang telah pergi ke negeri sebrang 2 tahun lalu dengan meninggalkan sepucuk surat di atas ayunan itu yang bertuliskan
“Tunggu aku, Din. Aku bakal balik buat kamu.”
Hingga saat ini tak ada kabar dari Dani. Dia hilang tanpa suara dan aku tenggelam dalam kepedihan batin. Aku, Dia, Terpisahkan oleh Jarak, Terjebak dalam Kerinduan, dan Terhanyut dalam Keraguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar